Kebijaksanaan Moralitas

Moralitas berkaitan dengan moral dan etika. Moral berarti kemampuan mendeteksi nilai, sementara etika adalah aktualisasi dari nilai yang dipegang. Terbentuknya moral akibat daya serap mengamati dan memahami nilai di lingkungan sosial. Pendidikan keluarga, agama, dan budaya sekitar menjadi faktor utama moralitas seseorang.

Konsistensi menjalankan etika akan membentuk integritas. Rusaknya moralitas ketika seseorang tidak memegang nilai yang dianutnya. Pembiasaan kejahatan dan mengabaikan risiko atas tindakan yang diambil menujukan ketidakbermoralan seseorang. Hal tersebut yang berpengaruh pada rusaknya moralitas generasi saat ini.

Anak remaja yang memperkosa anak usia dini, pembuangan bayi yang baru lahir, hingga budaya korupsi menjadi simbol ketidakpatuhan seseorang terhadap nilai dan norma. Padahal secara rasional seseorang mampu memilah benar-salah dan baik-buruk bahkan tanpa embel-embel pengetahuan agama. Namun perilaku amoral tetap tumbuh dan berkembang ketika sistem sosial tidak dibentuk untuk patuh pada nilai yang disepakati.

Dari sisi pendidikan, moralitas berkaitan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami ilmu yang didapat. Ilmu adalah kemampuan membedakan objek, sementara kebijaksanaan yang dibungkus moralitas adalah kemampuan menyamakan objek. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin memperuncing jarak perbedaan. Butuh kebijaksanaan untuk mengontrol capaian ilmu agar tidak disalahgunakan.

Seharusnya semakin tinggi ilmu relevan dengan tingkat kebijaksanaan seseorang. Seseorang mengetahui risiko dari tindakan yang diambil untuk menentukan perilaku baik dan buruk. Kebodohan akan menciptakan sikap gegabah yang berpotensi menyimpang dari nilai yang dianut masyarakat. Konsekuensinya adalah hukum dan pengucilan di lingkungan sosial.

Kebijaksanaan bukan ilmu teraapan yang bisa diajarkan di pendidikan formal. Perlu kemampuan memahami ilmu dan pengalaman hidup. Selain itu, lingkungan dan agama juga punya andil besar membentuk manusia yang bijaksana. Bijaksana bisa diartikan perilaku berkorban demi kemanfaatan. Merduksi ego dan nafsu untuk kekayaan, popularitas, dan kekuasaan.

Namun sikap kebijaksanaan segelintir orang juga akan luntur ketika melihat yang lain melakukan praktek amoral sebagai kebiasaan. Sehingga sistem moralitas harus direvolusi dengan ancaman hukum yang sekiranya membuat jera pelaku kriminal. Lemahnya hukum berpotensi menyebarkan perilaku kejahatan di masyarakat. Dampaknya, ilmu digunakan sebagai alat mengakali hukum, bukan untuk bersikap menjadi lebih bijaksana.


Nalar kebijaksanaan

Nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit) lebih dari sekedar nalar keilmuan. Kecerdasan seharusnya mengabdi pada kebaikan komunal. Manusia butuh proses komunikasi untuk melatih berpikir dan berpendapat secara jelas dan sistematis. Dengan nalar kebijaksanaan, orang belajar untuk memilah beragam informasi dan memilih pengetahuan yang ada.

Untuk mencapai level kebijaksanaan, seseorang harus banyak menerima bentuk informasi kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan kata dan kalimat. Informasi tersebut diolah menjadi pengetahuan yang bisa digunakan untuk motif kebaikan atau kejahatan. Setelah itu mencapai kebijaksanaan yang memadukan informasi dan pengetahuan untuk kebermanfaatan. Akar pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada informasi dan pengetahuan, tetapi juga pada kesadaran.

Puncak dari kebijaksanaan adalah kesadaran cinta yang selaras dengan moralitas. Menguasai kecerdasaan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk berkata dan berperilaku sesuai nilai yang dipegang. Sehingga ada tugas berat meningkatkan kualitas sumber daya manusia menggunakan nalar kebijaksanaan. Ketidaksadaran bertindak mengacaukan tatanan personal dan sosial. Berdampak pada konflik hingga kekerasan.

Kebijaksanaan tidak efektif diajarkan selain refleksi untuk memperbaiki diri. Memperbanyak informasi dan memperluas pengetahuan. Kebijaksaan relatif dilakukan setiap individu, namun inti kebijaksanaan adalah keputusan yang mengutamakan kebaikan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain.

Kebijaksanaan tidak akan tercapai jika masih banyak kebodohan, kemalasan, dan pengalaman nilai yang buruk. Apalagi pemimpin atau pejabat yang membudidayakan perilaku kriminal (melanggar hukum) dan menjadi pelajaran bahwa perilaku tidak bijaksana sudah biasa. Darurat kebijaksanaan akan menular dan diteruskan oleh generasi berikutnya yang berdampak pada penghancuran bangsa.

Pengaruh lingkungan, lemahnya iman, dan keterbatasan pengetahuan menjauhkan manusia dari sikap bijaksana. Keadilan mustahil dicapai jika orientasi kebijaksanaan ditutup kepentingan. Menjadi manusia egois dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kejahatan merajalela, kebaikan disembunyikan. Di tengah membanjirnya informasi, manusia semakin sulit memilah pengetahuan dan kehilangan kebijaksanaan.

Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan mulai dari penataan sistem pendidikan, revolusi budaya, hingga penguatan nilai keagamaan. Kebijaksanaan moralitas merupakan pondasi kemajuan bangsa menghadapi ancaman industri teknologi.***

 

Pernah dimuat di Media Indonesia

https://mediaindonesia.com/opini/561324/kebijaksanaan-moralitas