Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah. Rakyat dininabobokan dengan hegemoni pembangunan pemerintah dan mengaburkan nilai-nilai kenegaraan. Perangkat kenegaraan dipaksa tunduk pada pemerintah.
Instrumen kenegaraan juga mendukung terpusatnya pemerintah sebagai penentu hak tunggal kebijakan. Politik diatur sedemikian rupa untuk mencapai ambisi pemerintah dalam bingkai koalisi. Wakil rakyat bersekongkol mengelabuhi rakyat dengan iming-iming santunan sosial dan rekayasa kesejahteraan.
Kebijakan pemerintah yang dalam narasinya menyejahterakan rakyat hanyalah politik pencitraan di balik kerakusan menguasai negara. Tidak ada lagi kedaulatan rakyat, selain kedaulatan pemerintah. Hak pekerja yang didominasi rakyat miskin dieksploitasi dengan UU Ciptaker. Kebebasan berpendapat dibungkam dengan UU ITE. Demokrasi runtuh perlahan dalam euforia pembangunan yang disediakan untuk para penguasa dan pemilik modal.
Sistem pendidikan yang bobrok dipertahankan sebagai upaya membodohkan rakyat. Siswa diajari untuk tunduk, patuh, dan seragam. Buruh dipaksa menerima keadaan digaji pas-pasan. Petani lahannya digilas kebijakan gila para korporat. Kemiskinan dibiarkan dan menunggu rakyat mati perlahan sebagai kondisi alamiah hidup di negara krisis.
Politikus dan aktivis kemanusian berdrama di panggung untuk sedikit menciptakan konflik yang kemudian menghilang. Media disuap untuk menjadi humas pemerintahan. Rakyat dihipnotis untuk ikut permainan politik gelap yang diarahkan agar saling bertikai. Mencitrakan beberapa tokoh yang bakal menjadi tumbal rezim pemerintahan berikutnya.
Sikap kritis rakyat terhadap pemerintah sebagai kondisi ideal negara demokrasi sengaja disembunyikan. Kritik keras dihantui hukuman yang ditentukan pemerintah. Kritik hanya dibatasi pada kulit kebijakan yang tidak dapat menyelamatkan sistem dan nasib rakyat di masa depan. Rakyat diajari dan dipaksa tunduk, tidak boleh bicara!
Menciptakan prajurit media sosial untuk mengintimidasi kritikus. Rakyat yang seharusnya menjadi alat mengubah dan mengontrol pemerintah malah melamar sebagai budak pemerintah. Negara yang yang sedang krisis, tapi rakyatnya tidak boleh kritis. Sementara pemerintah dan segala apapun yang di belakangnya menikmati kekayaan sumber daya yang disediakan negara. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kritik-Kolektif
Rakyat perlu merawat nalar dengan melihat realitas di lapangan. Skenario politik menghendaki untuk terbenturnya agama, hilangnya kebudayaan, dikuasainya modal ekonomi, pendegradasian moral, bobroknya pendidikan, dan kecacatan hukum. Era media memudahkan pemerintah menyiasati kondisi ideal agar rakyat tidak punya kehendak untuk memberontak dan melawan keadaan.
Kritikus tidak lagi kencang suaranya ketika ditawari jabatan. Kehidupuan segelintir orang yang hidup bermewahan hanya menjadi hiburan rakyat miskin yang berdasarkan data BPS terbaru meningkat 9,57 persen. Kesenjangan ekonomi diwajarkan dalam negara yang menganut asas keadilan. Konstitusi sengaja mutlak dikendalikan pemerintah dan kritikus tidak punya lagi kesadaran sense of crisis.
Kritik harus kembali disuarakan sebagai bagian dari iklim demokrasi. Orientasi pada keadilan dan kesajahteraan kolektif tanpa mengutamakan kepentingan diri (egosentris). Ada banyak elemen masyarakat yang perlu diselamatkan dan ada kepentingan negara yang mesti kembali dihidupkan.
Ditariknya kubu oposan politik, kaum ulama, dan kritikus senior menyisakan rakyat-rakyat yang kebingungan meratapi nasib di negara yang tidak lagi berideologi; berkonstitusi. Media juga perlu menyediakan wadah kritik agar tidak semakin anarkis pemerintah menjajah negaranya sendiri.
Belum selesai urusan domestik, pemerintah enteng saja menawarkan negaranya diakuisisi pihak asing dengan membukakan investasi. Berhutang yang kelak punya potensi dijualnya kedaulatan negara. Menyandarkan keputusan politik global, menjadikan negara pasar ekonomi asing, dan menanam modal investasi di banyak lahan rakyat miskin.
Kemiskinan jarang dipublikasikan, sedangkan objek kemiskinan tidak punya suara dan instrumen menyalurkan keresahannya selain menunggu kado pemerintah sebagai strategi mengatakan pada seluruh masyarakat bahwa Indonesia baik-baik saja. Pemimpin tidak punya lagi kekuatan dalam jeratan partai. Wakil rakyat diatur agar tidak menghalangi kerakusan pemerintah menguasai negara.
Kritik-kolektif adalah senjata menyadarkan pemerintah dari perilaku hedonisme. Membuka mata tentang kondisi memprihatinkan rakyat yang tidak punya suara. Kesenjangan ekonomi yang semakin tidak masuk akal. Generasi emas hanyalah ilusi di negara yang kritis tapi rakyatnya tidak lagi krisis.
Politik modern mematikan nalar objektif dengan sistem polarisasi. Rakyat dibentuk untuk sibuk bermusuhan. Sementara pemerintah menjadi sutradara drama politik. Disadarkan pada politik Orde Baru yang menyingkirkan lawan politiknya untuk berkuasa, sementara sekarang dan yang akan datang dengan mengajak lawan politik sama-sama menikmati kekuasaan.***
Pernah dimuat di Pikiran Rakyat
https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3036279987/kritis-di-negara-krisis
0 Comments