Kewajaran Krisis Ekologi

Kewajaran Krisis Ekologi

Ada yang lebih memprihatinkan dari ancaman krisis ekonomi (resesi), yaitu krisis ekologi global. Ditandai dengan ketidakteraturan musim (iklim), beragam bencana alam, dan ancaman bahaya kelangsungan hidup manusia. Seluruh komponen masyarakat sepakat bahwa eksploitasi penggunaan sumber daya alam merupakan variabel utama pemanasan global yang diiringi dengan perilaku manusia yang mengakibatkan banyak polusi.

Kehadiran teknologi sebagai turunan dari kemajuan ilmu pengetahuan merekayasa alam untuk kepentingan pemenuhan hidup manusia. Perkembangan teknologi memicu lahirnya globalisasi dan kelebihan keterhubungan (hyperconnectedness). Bukan menata struktur sosial-budaya, namun malah menciptakan kesenjangan ekonomi dan krisis ekologi.

Ancaman krisis ekologi bukan hanya dalam lingkup domestik, di Eropa misalnya, mengalami gelombang panas berminggu-minggu yang mengakibatkan menurunnya curah hujan dan kekeringan di banyak tempat. Begitu juga dengan negara China, India, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat yang terimbas bencana alam akibat perubahan iklim.

Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), bumi dapat mencapai atau melampaui pemanasan 1,5 derajat Celsius dalam dua dekade dan pada tahun 2100 suhu bumi bisa mencapai 4,4 derajat Celsius. Ancaman bencana alam akibat krisis ekologi rupanya belum menyadarkan pola perilaku manusia modern. Lalu apa yang menyebabkan krisis ekologi sulit diatasi?

 

Faktor Individu

Ketidakpedulian terhadap generasi mendatang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kurangnya sikap empati untuk mengambil alih sudut pandang orang lain dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan. Globalisasi membawa manusia berpaham egosentrisme. Tidak lagi mementingkan nasib orang lain yang berorientasi pada perilaku mengeksploitasi alam.

Agama yang dihadirkan sebagai aturan untuk menjaga alam tidak lagi dijadikan parameter selain kebutuhan bertahan hidup dan memperkaya diri. Seolah alam dan manusia tidak punya korelasi. Bencana alam dianggap hanya bagian dari skenario Tuhan tanpa introspeksi perilaku diri yang berpotensi merusak alam.

Data pemanasan global, kepunahan spesies makhluk hidup, dan bencana alam hanya menjadi informasi yang tidak mempengaruhi perilaku manusia yang aktif menyebarkan polusi. Krisis ekologi harus dijadikan tanggung jawab bersama tanpa harus melempar kesalahan pada kelompok atau institusi tertentu.

 

Perilaku Sosial

Lingkungan dan budaya juga punya andil terhadap perubahan iklim. Kesadaran beberapa individu tidak dapat mengubah perilaku sosial yang aktif melakukan pencemaran. Kebiasaan yang kemudian dijadikan budaya mengabaikan keselamatan ekologi yang berimplikasi terhadap bencana alam dan perubahan iklim.

Prinsip peduli lingkungan dianggap sia-sia ketika banyak di antaranya terbiasa membuang sampah sembarangan, melakukan pembuangan emisi gas, hingga penebangan pohon. Lingkungan alam menjadi korban sebagai bentuk keserakahan manusia pada pilihan hidup saat ini.

Kemajuan teknologi informasi mengubah persepsi manusia praindustri yang begitu peduli terhadap kondisi lingkungan alam untuk keberlangsungan hidup manusia di masa depan. Kurangnya publikasi dan sosialisasi terhadap kondisi ekologi belum menyadarkan perilaku masyarakat yang masih konsisten mengabaikan ancaman pemanasan global.

Meski disadari bahwa perubahan suhu bumi yang semakin meningkat, namun kebiasaan mencemari lingkungan masih sering dilakukan seiring tidak adanya revolusi perilaku manusia modern yang lebih mementingkan aspek ekonmi daripada aspek ekologi. Dalam artian, manusia tega menyiksa keturunannya (generasi berikutnya) yang diwarisi kondisi bumi yang semakin sulit diselamatkan.

 

Kepentingan Ekonomi

Faktor ekonomi jelas berpengaruh terhadap perubahan iklim yang dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan manusia. Masih banyak perusahaan industri yang melakukan deforestasi dan menjalankan proses produksi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan hidup.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak membuat jera pelaku industri yang berfokus pada keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelaku industri berhasil memenuhi tuntutan kebutuhannya, sementara warga miskin mendapat imbasnya (bencana alam).

Bahaya krisis ekologi perlu kembali dikampanyekan di berbagai media dan ruang publik. Komitmen dunia dalam pertemuan negara-negara G-20 mengenai isu perubahan iklim harus diaktualisasikan secara nyata dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Kebijakan menangani krisis ekologi harus beriringan dengan kesadaran masyarakat tentang arti penting kondisi lingkungan alam di masa mendatang.

Setiap orang harus menurunkan ego terkait kepentingan politik dan ekonomi. Menyadari bahwa kehadiran manusia di muka bumi untuk menjadi pemimpin dan penjaga kelestarian alam, bukan malah merusaknya. Ketergantungan masyarakat terhadap teknologi juga harus bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap empati pada ancaman krisis ekologi.***

 

Pernah dimuat di Kolom Detik

https://news.detik.com/kolom/d-6595074/lebih-empati-pada-ancaman-krisis-ekologi 

0 Comments