Molimo adalah ajaran sederhana Sunan Ampel untuk orang yang tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang. Di antaranya adalah Emoh Main (tidak mau berjudi), Emoh Ngombe (tidak mau minum yang memabukkan), Emoh Madat (tidak mau mengonsumsi narkoba), Emoh Maling (tidak mau mencuri), dan Emoh Madon (tidak mau bermain wanita atau zina).
Ajaran tersebut sudah menjadi budaya bangsa, khususnya Jawa yang merupakan implementasi dari tujuan beragama. Tujuannya membentuk masyarakat yang berbudi luhur, bertata krama, dan berperilaku baik secara sosial dan spiritual. Molimo dijadikan prinsip hidup masyarakat untuk menjaga karakter dan moralitas personal dan komunal.
Sebagai bagian falsafah hidup, Komisi Pemilihan Umum (KPU) nantinya akan membuat peraturan mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Para kandidat yang ingin maju dalam Pilpres 2024 mendatang tidak boleh memiliki riwayat melakukan tindakan tercela. Hal itu diatur dalam pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Aturan itu merinci bahwa maksud tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma asusila, dan norma adat seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina (bunyi bagian penjelasan pasal 169 huruf j).
Hal tersebut menegaskan bahwa asas demokrasi pancasila masih menjadikan agama punya peran fundamental dalam dunia politik domestik. Unsur spiritualitas mempunyai dominasi terhadap pengambilan kebijakan dampak sensibilitas fanatisme keagamaan. Menepis anggapan sistem pemerintahan sekuler akibat narasi politik identitas.
Di luar prestasi akademik, pengalaman berpolitik, dan kapabilitas kepemimpinan, etika atau adab punya peran penting sebagai syarat menjadi calon presiden. Meskipun kebaikan bersifat subjektif, setidaknya molimo bisa dijadikan parameter menentukan kualitas pemimpin di masa mendatang.
Selain tidak melakukan tindakan tercela, tentu juga harus dibarengi dengan perilaku terpuji. Sementara dalam dunia politik, masyarakat lebih membutuhkan sikap tanggung jawab terhadap ucapan politikus (janji politik). Dalam rincian aturan KPU tidak merinci indikator kebaikan pemimpin dari kebiasaan tidak berdusta, menyebarkan fitnah, dan berlaku tidak adil.
Ambiguitas Aturan
Aturan KPU pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu perlu kajian lebih mendalam. Pertama tentang relevansi etika dan kepemimpinan. Kedua tentang orientasi hukum dan agama. Terakhir tentang hermeneutika bahasa. Kejelasan aturan diharapkan tidak menghalangi setiap warga negara untuk punya hak yang sama mencalonkan presiden (di luar alasan politik praktis).
Politik di Indonesia masih dipandang sebagai praktik amoral. Perkara fungsi, tujuan, dan perilaku politik yang masih jauh dari konsep demokrasi keadilan. Sikap otoriter pemimpin setelah berkuasa menjadi indikator amoralnya kebijakan politik yang kerap diambil. Padahal esensi dari bermoral adalah memanusiakan manusia, sementara politik mebutakannya. Menjadi pertanyaan bagaimana relasi antara etika seseorang dengan konsep manajemen kepemimpinan politik.
Sedangkan dalam kacamata hukum, aturan tersebut membatasi hak setiap warga negara sebab tidak sulitnya mengetahui perkara belum dan tidaknya perilaku yang pernah dilakukan seseorang. Apakah aturan tersebut hanya diperuntukan untuk orang yang pernah ditangkap polisi karena pernah berjudi, mabuk, narkoba, mencuri, dan berzina?
Sementara dalam kacamata agama, aturan tersebut semakin menegaskan representasi dominasi Islam dalam urusan politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun molimo bisa dijadikan dalih sebagai parameter moralitas, implementasinya merupakan ajaran-ajaran agama Islam. Pengharaman alkohol tentu tidak diimani semua agama, begitu juga dengan konsep perzinahan.
Dari hermeneutika bahasa, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih rinci seperti konsep mencuri, berjudi, mabuk, narkoba, dan zina. Bagaimana batasan tidak boleh mencuri? Seberharga apa sesuatu yang tidak boleh dicuri? Kapan mulai dan berhenti mencuri? Seberapa besar dampak dari pencurian yang dilakukan? Pertanyaan dasar sebagai pertimbangan bahwa hampir semua pasti pernah melakukan praktik pencurian.
Berjudi juga punya tafsir yang kompleks. Kalau belajar teologi Islam atau kajian filsafat, ditakdirkan hidup pun juga bagian dari perjudian. Tidak melulu tentang permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan. Kemudian muncul pertanyaan, apakah bermain trading dan investasi di bank juga bagian dari judi?
Mabuk dan narkoba pun demikian. Pelarangan bagi pelaku, pengedar, atau produsen? Lalu bagaimana parameternya? Apakah mencicipi alkohol juga sudah masuk kategori dilarang menjadi calon presiden? Atau misal minum alkohol tapi belum sempat mabuk masih bisa mendaftar sebagai calon presiden?
Terakhir adalah perzinahan. Dalam konsep agama Islam, zina punya beberapa jenis (1) Zina Al-Laman, yakni zina yang dilakukan dengan menggunakan panca indera. (2) Zina Muhsam, yakni zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah atau telah memiliki suami atau istri. (3) Zina Gairu Muhsan, yakni zina yang dilakukan oleh mereka yang belum sah atau belum pernah menikah. Zina yang apakah yang dimaksud dalam aturan KPU tersebut?
Ambiguitas aturan tersebut hendaknya dijelaskan lebih mendetail dan kontekstual agar sistem demokrasi bisa dijaga. Saya pun mengapresiasi aturan molimo sebagai syarat memilih pemimpin ketika melihat banyak pejabat yang banyak tersandung kasus korupsi. Moralitas harus ditegakan sebagai jalan mencari pemimpin yang bukan hanya unggul secara elektabilitas, tapi juga punya kapabilitas. Namun apakah molimo saja cukup dijadikan standar memilih pemimpin yang berkualitas?***
Pernah dimuat di Koran Radar Bogor
https://issuu.com/radarbogor/docs/epaper_radar_bogor_22_september-2022
0 Comments