Dilematis Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik

Dilema Royalti Hak Cipta Lagu

Di tengah pagebluk Covid-19, Jokowi mengambil langkah strategis dengan meneken Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik pada tanggal 30 Maret 2021. Kebijakan tersebut banyak diapresiasi para musisi tanah air seperti Anji, Anang Hermansyah, Pay BIP, Candra Darusman, dan lain sebagainya.

PP ini mengatur pembayaran royalti yang meliputi seminar dan konferensi komersial, klub malam, pub, cafe, bar, retoran, bistro, diskotek, bus, pesawat, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, konser musik, bioskop, nada tunggu telepon, pertokoan, bank dan kantor, pusat rekreasi, radio, televisi, fasilitas hotel, dan usaha karaoke ketika memutar lagu yang bersifat komersial.

Pembayaran royalti akan dihimpun melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibentuk oleh pemerintah. Royalti tersebut nantinya akan didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait. Aktualisasi dari penagihan royalti mengacu pada Sistem Informasi Lagu dan Musi (SILM).

Dalam peraturannya dijelaskan bahwa definisi royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Sedangkan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah berharap dengan adanya PP pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dapat membantu pendapatan musisi melalui kekayaan intelektual karya di tengah pandemi yang mengakibatkan sepinya konser dan acara on air dan off air lainnya. Selain itu juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat (pelaku usaha) untuk lebih menghargai sebuah karya seni ketika digunakan untuk tujuan komersial.

Sebelumnya, royalti untuk musisi dihimpun LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI), Karya Cipta Indonesia (KCI), Anugerah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI). Pada tahun 2019 LMK PAPPRI menyalurkan royalti sebesar 1,69 miliar rupiah, sedangkan tahun kemarin menyalurkan royalti sebesar 2,5 miliar rupiah.

Namun diprediksi tahun 2021 pendapatan dari royalti intellectual property lagu dan musik mengalami penurunan mengingat masa pandemi yang berimbas terhadap industri musik seperti karaoke, klub malam, bistro, seminar, konser musik, dan sebagainya. Demikian yang menggerakan pemerintah untuk segera meneken PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik untuk membantu musisi tetap konsisten berkarya di tengah pandemi.

Risiko

Peraturan ini dianggap genting untuk segera disahkan mengingat menurunnya penjualan kaset atau CD karya musik yang berganti dengan platform digital. Penjualan lagu digital tidak tumbuh maksimal, sedangkan kemajuan teknologi digital semakin pesat. Ketika konser musik (panggung) dipaksa berhenti akibat pandemi, musisi harus tetap memperoleh penghasilan untuk penopang kebutuhan hidup.

Namun demikian, penerapan royalti terhadap ruang-ruang publik akan mengakibatkan pelaku usaha berpikir ulang untuk memutar lagu atau musik yang berpotensi mengandung hak cipta. Ketika semua industri belum berjalan sebagaimana mestinya, pembayaran royalti dianggap akan menambah beban pengeluaran pelaku usaha.

Meskipun di pasal 11 ada keringanan tarif royalti untuk usaha mikro yang perlakuannya masih begitu abu-abu, namun kepastian hukum tetap akan mematikan musik-musik komersial di ruang-ruang publik. Dampaknya, lagu dan musik dari musisi nasional akan semakin asing didengar oleh masyarakat. Lagu atau musik tidak lagi bisa dinikmati sebagai media hiburan sehari-hari.

Di lain hal, peraturan tersebut masih belum secara eksplisit mengatur hak royalti terhadap platform digital yang menyediakan musik cover. Walaupun di dalam pasal 3 memungkinkan untuk menjangkau ruang lingkup yang lebih luas (platform digital). Ketika semua sudah dibayangi pemungutan royalti terhadap karya musik, maka masyarakat akan beralih pada karya musik asing atau hal lain selain musik sebagai media hiburan.

Padahal banyak lagu yang terangkat akibat masifnya cover lagu di platform-platform digital. Bagaikan simbiosis mutualisme, lekatnya lagu yang sering didengar oleh masyarakat akan meningkatkan popularitas musisi itu sendiri. Belum lagi batasan plagiasi yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jika permasalahan fundamental tentang pengakuan hak cipta yang didasarkan pada karya plagiasi belum begitu terselesaikan, pengaturan royalti akan sulit diaplikasikan.

Ditambah arsip lagu (big data) lagu yang layak untuk mendapatkan royalti masih belum begitu maksimal. Begitu juga dengan software atau aplikasi pemungutan royalti di ruang-ruang publik yang susah dijangkau oleh LKMN. Dilematis PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik akan menjadi berkah bagi musisi namun akan menjadi musibah bagi pelaku usaha yang sebenarnya juga membantu mengenalkan karya musik para musisi ke publik dan tentunya masyarakat yang kehilangan lagu-lagu dari musisi nasional karena kekhawatiran pembayaran royalti di ruang publik dan platform digital.

 

Pernah dimuat di Jawa Pos

https://www.jawapos.com/opini/13/04/2021/dilema-royalti-hak-cipta-lagu/?amp 

0 Comments