Kampanye Digital

Beberapa hari yang lalu, saya ditawari menjadi tim sukses oleh salah satu Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat. Bukan tanpa alasan, mengingat saya begitu aktif menjadi penggiat media sosial dan menulis di koran atau media online. Namun karena satu dan lain hal, saya menolak dan tetap idealis menjaga jarak dari pengaruh politik praktis.

Beberapa kali saya menulis tentang tidak efektif dan efisiennya metode kampanye konvensional yang mengandalkan stiker, pamflet, dan baliho di ruang-ruang publik. Selain kegelisahan tentang pencemaran lingkungan akibat sampah iklan politik, pemasangan baliho untuk kampanye juga boros anggaran yang hasilnya tidak begitu signifikan.

Keterbukaan informasi dan peningkatan kecerdasan intelektual masyarakat modern mulai sadar akan narasi politik pencitraan. Cenderung memilah pejabat atau pemimpin yang punya gagasan program dengan realisasi yang logis. Tidak berlebihan yang kemudian punya track record pengkhianatan atau ingkar janji. Prinsip pada politik identitas dan fanatisme partai atau tokoh juga punya andil besar dalam pemilihan suara daripada kampanye menggunakan baliho atau pamflet yang dipasang di pohon-pohon pinggir jalan raya.

Namun realitanya, masih banyak tokoh politik yang mengiklankan dirinya dengan metode konvensional. Selain strategi politik uang yang dianggap masih ampuh mengeruk suara di daerah pedesaan atau pinggiran kota. Suap suara dijadikan jalan terakhir menjelang pilihan umum. Calon pejabat mencari modal untuk melakukan politik uang, sementara pemilih mengaminkan dengan menggadaikan suaranya.

Selain masih relevan dengan kondisi perekonomian masyarakat saat ini, politik uang juga menjadi bentuk simbiosis mutualisme dalam transaksi demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang minim pengetahuan terhadap politik akan lebih memilih uang yang mungkin hanya bisa untuk bertahan hidup sehari daripada berspekulasi memilih pemimpin yang sama-sama tidak mengetahui kepribadian dan program kerja saat menjabat.

Kampanye usang lainnya adalah mengerahkan massa memenuhi jalan dan mengadakan konser di tanah lapang. Euforia baju partai atau gambar tokoh kurang efektif menarik basis suara generasi milenial yang cenderung melihat pengalaman, gagasan kepemimpinan, dan kemampuan dalam berkomunikasi politik.


Baca Juga : Ulah Komedi Feminisme

Digitalisasi Politik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis data hingga batas pendaftaran partai politik, terdapat 40 partai politik yang telah mendaftar sebagai calon peserta pemilu dari anggota DPR dan DPRD tahun 2024. Ada 24 parpol yang dinyatakan lengkap berkas pendaftarannya dan akan dilanjutkan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.

Kemeriahan kontestasi politik berikutnya menjadi tantangan tentang strategi bertempur memperebutkan suara, khususnya generasi milenial yang menjadi kantong terbesar pemilihan. Ada delapan partai baru yang menarik untuk ditunggu cara berkampanye dengan memanfaatkan dominasi penggunaan teknologi, khususnya gadget.

Namun kemudahan melakukan akses internet dan eksplorasi teknologi digital kerap disalahgunakan sebagai medium provokasi atau melakukan black campaign (kampanye hitam). Esensi kampanye yang dijalaskan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum tentang visi, misi, program, dan/atau citra diri mulai diabaikan.

Lemahnya pendidikan politik dan banyaknya masyarakat yang tidak melek politik menjadi penyebab kegagapan berkampanye. Nafsu berkuasa menciptakan iklim politik yang anarkis untuk menghalalkan cara agar bisa memenangkan kontestasi. Menjelekan hingga memfitnah (menyebarkan hoaks) lawan politik. Sementara masyarakat tidak disajikan visi, misi, dan program politik saat kampanye.

Media digital dipenuhi dengan politik pencitraan dan narasi menjatuhkan hingga mempermalukan lawan. Belum lagi jika ada afiliasi organisasi agama atau sisa politik identitas yang membuat masyarakat mengabaikan esensi berkampanye selain membagikan politik kebencian.

Banyak harapan terhadap kecanggihan teknologi dan kebutuhan internet dapat dimanfaatkan tokoh dan partai politik menyaring suara yang relevan dengan visi dan misi membangun Indonesia. Mengutamakan kepentingan bersama daripada motivasi menjadi pemimpin yang diktator. Media digital harus kembali digunakan sebagai sarana menyampaikan informasi dan alat berkomunikasi yang bijak.

Politikus punya tantangan dalam menghadapi realitas dunia digital. Menawarkan konten dan publikasi politik yang menarik secara informasi visual. Tetap mengedepankan politik gagasan tanpa embel-embel mencederai lawan politik. Sedangkan dalam sisi anggaran, kampanye digital akan lebih efektif dan efisien menyasar mayoritas kantong suara di pemilu.

Banyak informasi tentang kelebihan dan kekurangan tokoh dan partai politik di internet tanpa harus memamerkan citra di baliho atau pamflet. Sementara politik uang akan mulai ditinggalkan ketika masyarakat mulai melek politik dengan memilih pemimpin yang jelas kredibilitasnya. Modal politik uang hanya akan menciptakan persepsi pengembalian modal ketika sudah berhasil menjabat dengan cara korupsi.

Ke depan, tokoh dan partai politik yang cerdas berkampanye di media sosial akan cenderung punya elektabilitas yang tinggi dibandingkan pasang baliho di berbagai titik jalan raya. Demikian yang mulai digagas beberapa tokoh politik dengan aktif berinteraksi di media sosial. Menambah atensi dari generasi milenial yang kecanduan gadget dan media sosial. Mengadakan berbagai jenis lomba untuk menyasar kelompok-kelompok kreaktif mengenal tokoh dan partai pengusungnya.***


Pernah dimuat di Riau Pos

https://riaupos.jawapos.com/6240/opini/26/12/2022/kampanye-digital.html