Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Negara hukum berarti suatu negara yang di dalamnya terdapat berbagai aturan-aturan yang bersifat memaksa dan diberikan sanksi tegas apabila dilanggar.
Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Di Indonesia, negara hukum didasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum.
Untuk mencapai tujuan dari konsep negara hukum, Presiden dibantu oleh Kemenkumham yang salah satu fungsinya adalah penguatan dan pelayanan hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan penghormatan, pemenuhan, pemajuan, pelindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Saat ini, kemenkumham dijabat oleh Yasonna Hamonangan Laoly (2019-2024). Di bawah kemenkumham terdapat 6 direktorat jendral, yakni; peraturan perundang-undangan, administrasi hukum umum, permasyarakatan, imigrasi, hak kekayaan intelektual, dan hak asasi manusia. Visi direktorat jenderal HAM sendiri adalah mewujudkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang berkelanjutan.
Sifat hukum adalah mengatur, mengikat, dan memaksa, sedangkan sifat hak asasi manusia adalah hakiki, universal, permanen, dan tidak dapat dibagi. Hakiki berarti hak yang dimiliki oleh semua orang sejak mereka dilahirkan. Universal artinya HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang status sosial, agama, suku, ras, dan juga perbedaan lainnya. Permanen atau tidak dapat dicabut, berarti HAM tidak dapat dihilangkan atau diserahkan kepada orang lain. Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak yang sudah diatur dan ditetapkan.
Dalam konteks HAM, Hak dan kewajiban asasi manusia merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain yang memiliki kausalitas. Dalam UU RI No. 39 tahun 1999 pasal 1 ayat 2, kewajiban asasi manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Kontroversi Hukum dan HAM
Di masa pandemi, penegakan hukum maupun perlindungan HAM harus responsif serta inklusif. Kemenkumham menyediakan pelayanan yang adil, transparan, efektif, non-diskriminatif, dan akuntabel demi menyediakan akses seluas-luasnya kepada keadilan bagi semua orang.
Selain kemenkumham, masyrakat sipil mempunyai banyak lembaga perlindungan hukum dan HAM, seperti KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, Imparsial, HRWG, Kemitraan, ELSAM, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, HRW, WALHI, LBH Pers, hingga KPI. Sikap pesimistis terhadap kinerja kemenkumham, membuat integritas lembaga independen lebih dipercaya menegakan keadailan secara objektif dan tidak terpengaruh dari intervensi pemerintah.
Dari catatan Koalisi Pembela HAM, setidaknya sudah terjadi 116 kasus serangan terhadap pembela HAM sepanjang Januari hingga Oktober tahun 2020. Pencederaan HAM ditandai dengan adanya perampasan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran aktivitas secara represif, kriminalisasi, kekerasan, dan intimidasi, maupun melalui media digital seperti peretasan dan pembajakan akun, terjadi akibat sikap pemerintah yang sengaja memunggungi nilai-nilai hak asasi manusia.
Dikotomi paling nyata adalah pembatasan hak bersuara di media dengan UU ITE yang dianggap subjektif. Ketika negara menjamin kebebasan berpendapat, pemerintah malah membungkam dengan ancaman dan hukuman. Hukum dan HAM berjalan beriringan tapi tidak datu tujuan.
Pembubaran FPI
KontraS bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa), LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), YPII (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia), PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), menyayangkan sikap pemerintah yang membubarkan organisasi FPI secara sepihat.
Dasar SKB pembubaran Front Pembela Islam (FPI) adalah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat UU Ormas). Pembubaran organisasi secara sepihak oleh pemerintah dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.
Selaras dengan KontraS, Amnesty Internasional Indonesia juga berpendapat bahwa pembubaran FPI telah melanggar hak berserikat dan berekspresi. Selain itu juga ada KNPI yang menyatakan ketidaksetujuannya atas pembubaran FPI yang dinilai tidak melandaskan keadilan.
UU ormas yang dijadikan dasar pembubaran FPI dinilai bertentangan dengan semangat reformasi yang termaktub dalam UUD 1945 untuk melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan.
Jika alasan lebih didasarkan kepada ujaran kebencian, keterlibatan aksi terorisme, sweeping, dan razia, maka pembubaran FPI tidak akan mengatasi substansi permasalahan. Organisasi tidak dapat mengontrol penuh perilaku anggota yang melenceng dari koridor AD/ ART.
Kasus pembubaran FPI merupakan salah satu dari banyak kasus dikotomi hukum dan HAM. Di satu sisi, pemerintah memberikan kebebasan atas hak asasi setiap warga negara, di sisi lain, pemerintah membungkam warganya dengan berbagai aturan dan hukum. Jika menegakkan aturan (menghukum) berdasarkan undang-undang dianggap membatasi HAM, jika membiarkan berpendapat dan berperilaku sering menimbulkan ketidakteraturan sosial di tengah masyarakat.
Pernah dimuat di media Riau Pos
https://riaupos.jawapos.com/5966/opini/20/01/2021/dikotomi-kemenkumham.html
0 Comments