Sejak perseteruan dengan Samsudin, nama Marcel Radhival (Pesulap Merah) berseliweran di media sosial. Kerap diundang dalam talkshow televisi dan podcast di YouTube. Beberapa memujinya, di sisi lain ada yang mencacinya. Aksi Pesulap Merah tidak hanya perihal kompetisi konten “sulap”, melainkan mendekonstruksi agama, sosial, dan budaya.
Dari sisi atraksi, Pesulap Merah mulai meninggalkan aksi panggung dengan cara membongkar trik sulap. Seniman sulap menjadi kekurangan panggung sebab penonton sudah mulai sadar akan “konsep kebohongan” dalam permainan sulap. Kemudian mulai merambah ke dunia mistis dengan alibi menyadarkan masyarakat dari kemusyirkan (kesesatan).
Lalu kenapa aksi membongkar kesesatan dukun bisa menjadi bahasa menarik di masyarakat?
Ada kebudayaan yang mengakar kuat di masyarakat seputar kepercayaan mistis yang kemudian menjadi daya tawar produksi kesenian seperti film, musik, hingga pertunjukan teater. Masyarakat masih antusias mendiskusikan perkara gaib seputar santet (penyengsaraan), pelet (pengasihan), dan kepet (pesugihan). Sementara dalam tradisi kebudayaan, masyarakat sudah lama diberi khasanah kegaiban di tempat angker atau mistis.
Kepercayaan hantu penunggu rumah, pemakaman, hingga gedung-gedung tua masih menjadi daya tarik masyarakat. Memberikan tontonan uji nyali dan jalan-jalan malam dengan sedikit bumbu drama kesurupan. Sementara tontonan yang bernuansa saintifik kurang diminati. Masyarakat Indonesia lebih suka mengunggulkan kepercayaannya daripada logikanya dalam melihat fenomena yang tidak populer. Kemalasan berpikir inilah yang menyebabkan tradisi kebudayaan mengenai hal mistis masih relevan di masyarakat.
Implikasi dari kemalasan berpikir pada akhirnya mengarah pada doktrinasi agama yang menyandarkan keyakinan kepada otoritas tertentu. Ada nilai kekastaan (yang diulamakan) dalam memberikan fatwa yang “wajib” diikuti oleh masyarakat. Relasi agama dan kebudayaan seputar hal-hal di luar logika yang menjadi pondasi berperilaku fanatis. Bahkan, mengabaikan kebenaran faktual dengan menyandarkan kesadaran kepada tokoh yang dipercayainya.
Agama menjadi alat melegalkan kekerasan dan ambisi kekuasaan tanpa melihat spektrum sosial, budaya, dan politik. Agama juga menjadi alat untuk menjajah agama atau ideologi lain yang dianggap menghambat tujuan. Bahkan agama kerap menjadi senjata menghilangkan tradisi dan kebudayaan setempat, termasuk praktek perdukunan.
Pesulap Merah menjadi tokoh antitesis budaya Indonesia yang terbelenggu dalam kepasrahan berpikir. Membuka mata masyarakat yang malas berikhtiar dan malah memasrahkan nasibnya kepada dukun. Sementara ada dimensi kekuatan supranatural yang kadang juga disandarkan pada kiai (ulama) atau yang dianggap kiai. Maka, perseteruan Pesulap Merah juga berpotensi pada sikap sinisme masyarakat pada kalangan kiai yang dianggap punya karomah.
Kecacatan Berpikir
Fenomena Pesulap Merah memberikan pesan tentang kesadaran berpikir agar tidak gegabah mengambil kesimpulan. Di sisi lain, bahaya menyandarkan agama pada logika akan melemahkan iman seseorang akan adanya mukjizat, karomah, maunah, istidraj. Bahkan sampai pada indikator kekafiran dari kepercayaan terhadap makhluk gaib. Sedangkan dunia gaib sendiri merupakan bagian dari rukun iman.
Manusia harus mampu memanfaatkan modal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual melihat fenomena benturan budaya dan agama. Memutuskan untuk mencari kebenaran fakual atau hanya menyandarkan pada kekuasaan Tuhan. Sehingga ada keseimbangan pikiran dan keyakinan dalam beragama. Tidak gampang taklid buta, namun tidak juga menyepelekan kapablitias ulama.
Bukan hanya kebudayaan praktek perdukunan yang hanya mengancam kecacatan berpikir rasional, namun juga fanatisme terhadap agama yang berdampak pada konflik di masyarakat. Padahal ada kesamaan orientasi antara agama dan budaya dalam mengembangkan keimanan sesorang. Ketika agama mengajarkan batasan dalam dimensi spiritual, budaya mengajarkan masyarakat melalui dimensi sosial.
Dari perspektif agama, aksi Pesulap Merah tentu diapresiasi secara kaidah syariat yang menyadarkan manusia dari praktek perdukunan. Sementara dari sisi sosial kebudayaan, aksi Pesulap Merah bisa menimbulkan konflik di masyarakat dan menghilangkan sisi kebaktian terhadap seseorang yang ditokohkan. Destruksi kebudayaan yang akan membawa dampak besar pada pola pikir masyarakat mengenai hal-hal metafisika.
Sementara tidak seluruhnya aksi Pesulap Merah mendapat dukungan dari umat beragama, Islam khususnya. Bukan karena embel-embel “gus” yang disematkan pada Samsudin, melainkan pada fakta bahwa di lingkungan pondok pesantren ada kajian ilmu laduni dan ilmu kanuragan yang dalam aplikasinya kerap bersinggungan dengan hal-hal mistis. Bahkan Pesulap Merah dengan terang-terangan siap membongkar trik ilmu laduni yang kebetulan menjadi basis muslim pesantren.
Jadi tidak semua bersumber pada kecacatan berpikir rasional. Ilmu pengetahuan barat modern perlahan akan mendominasi struktur berpikir masyarakat Indonesia yang mulai meninggalkan nilai agama dan kebudayaan. Mengandalkan kemampuan logika dan mulai mengabaikan keyakinan pada otoritas keulamaan atau ketokohan di masyarakat. Sisi positifnya, masyarakat tidak lagi mudah tertipu dengan segala intrik yang dilakukan oleh tokoh tertentu. Menyaring informasi yang ditengarai hoaks atau modus penipuan.***
Pernah dimuat di Kolom Detik
https://news.detik.com/kolom/d-6275114/pesulap-merah-dan-benturan-budaya
0 Comments